Selasa, 26 Februari 2013

Perbandingan Populasi Berdasarkan Ukuran-Ukuran Antropometri

Sebelum menjabarkan tentang kegunaan antropometri sebagai studi komparasi antar populasi, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai apa yang dimaksud dengan antropometri. Secara etimologi, antropometri adalah studi tentang pengukuran tubuh manusia. Yang mana dari hasil pengukuran tersebut dapat kita ketahui variasi manusia dari segi fisiknya. Selain umur dan jenis kelaminnya. (Soebroto, 2000) Sedangkan populasi adalah kumpulan makhluk hidup sejenis dalam satu tempat tertentu dan waktu tertentu. Contohnya, sekumpulan kura-kura di kolam atau sekumpulan orang Bugis di Makassar. Dalam hal ini, populasi manusia merupakan kumpulan individu yang memiliki ciri-ciri yang sama dan menempati suatu tempat tertentu. 
Dari kumpulan-kumpulan populasi tersebut, dapat kita bandingkan perbedaannya yang dapat dilihat melalui ciri-ciri morfologis yang dalam antropometri dikenal dengan somatoskopi seperti, bentuk mata, rambut, kulit, dan lain sebagainya. Misalnya, orang Jawa dan orang Irian. Meski mereka masih dalam satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perbedaan fisik mereka sangat mencolok. Hal ini terlihat dari warna kulit, rambut dan postur tubuhnya. Semakin ke Timur, kulit orang Indonesia semakin berwarna gelap, dan semakin ke barat kulitnya berwarna terang. Serta masih banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya yang cukup mencolok. Munculnya variasi ini diawali sejak masa prasejarah yaitu sebagai akibat dari aktivitas migrasi yang dilakukan oleh populasi-populasi manusia prasejarah di seluruh dunia.
Perpindahan penduduk sejak masa lampau hingga masa kini menyebabkan peningkatan penyebaran ras yang ada di dunia. Ras-ras tersebut kini tidak hanya diam di satu tempat melainkan tersebar di seluruh tempat di dunia. Definisi ras sendiri diartikan sebagai ciri yang melekat pada sekelompok manusia dalam suatu tempat tertentu. Ras biasanya membawa ciri-ciri morfologis dan penyebaran ras menyebabkan ciri-ciri morfologis ini menjadi susah untuk diidentifikasi. Hal tersebut diakibatkan oleh pengaruh lingkungan yang menuntut untuk melakukan adaptasi. Selain itu perkawinan campuran (admixture) juga berperan dalam perubahan ciri-ciri morfologis suatu ras. Lebih lanjut dari masalah ras ini adalah mengenai ciri-ciri morfologis yang kemudian akan menjadi pembeda antar populasi. (Prihatini, 2006)
Perkawinan campuran (admixture) antar ras juga berkaitan dengan gene pool. Gene pool  merupakan suatu gen yang bervariasi dan hal ini dimiliki bersama oleh setiap populasi. Gene pool dapat menuju ke arah inbreeding depression pada kondisi tertentu. Inbreeding depression merupakan suatu penentuan populasi yang ditentukan melalui gen resesif yang didapatkan dari perkawinan, saudara dekat, dan lain-lain. (Pratama, 2010)
Banyaknya ras, merupakan bukti banyaknya variasi biologis yang ada pada manusia. Pada dasarnya, ras adalah pengelompokan manusia dari segi biologisnya yang didasarkan pada tampilan fisik (fenotipe) bukan struktur genetisnya. Pembagian ras secara umum, dibagi menjadi tiga, yaitu: Mongoloid, Negrid, dan Kaukasoid. Orang Indonesia termasuk ke dalam ras Mongoloid dan Australomelanesid. (Indriati, 2004).
Ciri ciri ras ini juga berkaitan dengan antropometri yaitu dalam pengukuran-pengukuran baik kerangka maupun tubuh. Dalam hal ini pengukuran-pengukuran tersebut meliputi osteometri, osteoskopi, somatometri, dan somatoskopi. Perbandingan-perbandingan yang umum digunakan antara lain ciri-ciri morfologis wajah, ukuran-ukuran tulang tengkorak, kefalometri, dimorfisme seksual atau perbedaan jenis kelamin, gigi-geligi, dan lain-lain.
Contohnya saja dimorfisme seksual yang kadang dapat mengacaukan identifikasi sebab antara satu populasi dengan populasi lain mungkin saja memiliki persamaan antar masing-masing individunya meskipun berbeda jenis kelamin. Seperti contoh pada laki-laki Asia Tenggara yang memiliki ciri-ciri dimorfisme seksual hampir sama dengan perempuan Amerika Serikat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya salah identifikasi. Begitu pun dengan variasi ras dalam populasi-populasi yang dapat memberikan kesalahan informasi mengenai populasi yang bersangkutan. (Prihatini, 2006)
Adapun variasi-variasi ras berdasarkan anatomi sudah ada sejak dulu dan juga diukur menggunakan ukuran-ukuran antropometri dalam pengidentifikasiannya. Terutama pengukuran mengenai kerangka dan tulang-belulang yang merupakan fosil zaman prasejarah. Variasi-variasi ini pun hampir sama ditemukan pada pengukuran gigi-geligi yang juga memperlihatkan adanya evolusi dan perubahan-perubahan yang terjadi akibat migrasi saat itu. (Jacob, 1967)
Kesimpulan dari pengukuran gigi geligi itu memberikan gambaran sejarah mengenai ras-ras yang berkembang di Indonesia sejak dulu. Di mana populasi manusia Wajak yang juga diidentifikasi sebagai Homo Sapiens dibandingkan menurut gigi-geliginya dengan populasi manusia prasejarah lain seperti Niah, Talgai, maupun Australoid. Dari pengukuran-pengukuran tersebut kemudian memberikan informasi mengenai nenek moyang populasi-populasi ras yang ada di Asia Tenggara dan sekitarnya. Misalnya populasi Melayu Purba dan Australomelanesoid yang nenek moyangnya adalah manusia Wajak dan mereka ini kemudian bermigrasi dan menyebar ke arah tenggara dan timur laut. Populasi Australomelanesoid pun berkembang menghasilkan ras-ras Melanesoid dan Australoid sekarang. (Jacob, 1967)
Ada pula jenis ras lain yang ditemukan yaitu ras Mongoloid yang berada di bagian tengah Indonesia yang merupakan hasil pengukuran yang juga menggunakan antropometri, khususnya osteometri pada tulang-tulang pipa manusia. Pengukuran ini dilakukan pada fosil populasi manusia di Gua Leang Cadang. Hasil pengukuran yang sama juga terlihat pada fosil manusia di Gua Kepah dan Sampung. Di mana terdapat perbedaan ras yang mencolok yang terlihat dari ukuran gigi-geligi yang lebih kecil dari fosil-fosil tersebut jika dibandingkan dengan yang ditemukan pada fosil manusia Wajak. Selain ukuran gigi-geligi, di Gua Liang Toge yang merupakan salah satu gua prasejarah di Pulau Flores juga memperlihatkan perbedaan tinggi badan manusia prasejarah di tempat tersebut. Di mana manusia prasejarah yang tinggal di Gua Liang Toge ini memiliki rata-rata tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi manusia prasejarah yang ada di Pulau Flores pada umumnya. Hal tersebut terlihat baik pada laki-laki maupun perempuannya. Sehingga, manusia ini diidentifikasikan dalam ras yang sama dengan orang Irian pada masa kini. (Jacob, 1967)
Adapun sebuah penelitian yang lain mengenai perbedaan jenis kelamin berdasarkan ciri-ciri deskriptif ras pada tengkorak Jawa dan tengkorak Irian, terdapat perbedaan spesifik mengenai dimorfisme seksual. Perbedaan ini terlihat dari “glabella, superciliary arch, frontal tubera, orbit form, temporo-zygomatic process, zygomatic bone, mastoid process, supramastoid crest, external occipital protuberance, dan nuchal plane.” Berdasarkan ukuran-ukuran osteometri tersebut terlihat perbedaan yang sangat mencolok dalam populasi Irian antara laki-laki dan perempuan. Pada ciri-ciri tulang tengkorak terdapat perbedaan yaitu pada wanita kurang terlihat dan berukuran kecil sedangkan pada laki-laki agak tebal, tajam, dan besar. Hal demikian juga ditemukan pada manusia Jawa yaitu perbedaan pada perempuan maupun laki-laki. (Prihatini, 2006)
Dari penelitian tersebut juga diambil kesimpulan bahwa antara perempuan Irian maupun Jawa memiliki ciri-ciri tengkorak yang lebih halus, tipis, dan kurang terlihat daripada laki-laki Jawa maupun Irian. Dan jika dibandingkan antara laki-laki Jawa dan laki-laki Irian terdapat perbedaan yang juga mencolok yaitu laki-laki Irian ciri-ciri tengkoraknya lebih menonjol, tajam, dan terlihat jelas daripada laki-laki Jawa, terutama pada bagian palatal form yang dapat teridentifikasi dengan jelas pada tengkorak laki-laki Irian. (Prihatini, 2006)
Peneliti kemudian menyimpulkan secara garis besar bahwa “ciri-ciri jenis kelamin yang dapat dijadikan sebagai pembeda rasial pada sampel Jawa dan Irian adalah glabella, superciliary arch, zygomatic bone, supramastoid crest, dan external occipital protuberance. Ciri jenis kelamin yang tidak dapat dijadikan pembeda rasial pada sampel Jawa dan Irian adalah temporo-zygomatic process dan mastoid process” (Prihatini, 2006)
Pembahasan mengenai perbedaan ukuran gigi geligi maupun ukuran lain yang terdapat pada fosil populasi di bagian tengah Nusantara dengan fosil populasi manusia Wajak merupakan contoh penggunaan antropometri yang dalam hal ini lebih dominan pada osteoskopi dan osteometri. Sebab pengukuran dilakukan terhadap fosil yang berupa tulang belulang atau kerangka manusia. Begitu juga penelitian mengenai perbedaan jenis kelamin pada tengkorak Irian dan Jawa juga menggunakan metode pengukuran yang sama. Dari penelitian tersebut kita mendapatkan informasi bahwa variasi antar populasi tidak hanya memperlihatkan perbedaan ciri-ciri individu antar populasi melainkan jenis kelamin masing-masing individu antar populasi pun memiliki ciri-ciri yang berbeda satu sama lain.
Studi antropometri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mempunyai fungsi dalam komparasi antar populasi manusia. Selain contoh penggunaan metode osteoskopi dan osteometri, antropometri juga dapat dilakukan dengan metode pengukuran somatometri dan somatoskopi. Somatometri adalah pengukuran manusia hidup atau yang masih memiliki soft tissue yang termasuk di dalamnya ialah lemak, otot, dan kulit. Pengukuran ini meliputi pengukuran terhadap kepala, wajah, dan juga tubuh secara keseluruhan. Somatometri berguna dalam perkiraan usia dalam segmen tubuh yang berbeda dalam individu. (Krishan, 2007) Sedangkan somatoskopi merupakan deskripsi mengenai bentuk tubuh dan bagian-bagiannya yang diamati sedemikian rupa baik secara umum maupun secara lengkap sesuai dengan ciri-ciri yang ada. Somatoskopi ini meliputi pigmentasi, bentuk bagian-bagian wajah maupun wajah secara keseluruhan, dan proporsi badan atau konstitusi badan. (Glinka dkk, 2008)
Pada somatoskopi, kita dapat mengidentifikasi perbedaan populasi dari bentuk rambut, mata, hidung, dan lain-lain yang kemudian dideskripsikan melalui pengukuran yang direpresentasikan ke dalam indeks yang disebut somatometri. Dalam penggunaan studi antropometri ini khususnya metode pengukuran somatoskopi dapat diambil contoh terhadap ciri-ciri morfologi wajah yang dapat diidentifikasi melalui bentuk hidung, warna rambut, warna iris mata, bentuk kelopak mata, dan lain-lain. Dan melalui somatometri dapat dilakukan dua jenis pengukuran yaitu ukuran wajah yang disebut kefalometri yang ukurannya antara lain ukuran panjang atau lebar kepala, ukuran panjang dan lebar wajah, tinggi hidung, dan lain-lain dan ukuran lainnya yaitu ukuran badan yang dikenal dengan somatometri yang meliputi antara lain tinggi badan, berat badan, panjang kaki, dan lain-lain. (Glinka dkk, 2008) Sebagai contoh adalah bahwa rata-rata panjang kaki populasi masyarakat Eropa lebih panjang dibandingkan dengan populasi masyarakat Indonesia. Hal itu disebabkan karena pola makanan, kegiatan sehari-hari, hasil perkawinan, dan beberapa faktor lingkungan. Dibandingkan dengan populasi masyarakat Jawa terlihat pada panjang kaki dan panjang serta lebar telapak kaki lebih pendek dan kecil.
Kasus lainnya mengenai perbandingan populasi juga dapat terjadi pada satu populasi yang memiliki asal tempat yang sama dan tentunya ciri-ciri ras yang sama namun kemudian bermigrasi dan tinggal menetap di wilayah berbeda. Seperti contohnya populasi Batak Toba yang tinggal di wilayah Toba Samosir dengan populasi Batak Toba yang tinggal di Surabaya. Masyarakat yang melakukan migrasi akan hidup di tengah lingkungan baru yang berbeda dengan tempat aslinya. Migrasi ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat pendidikan, sosial atau keuangannya. Iklim dan sosial budaya daerah yang akan dituju kemungkinan akan memiliki perbedaan dengan iklim di tempat ia berasal. Kebanyakan wilayah yang menjadi tujuan imigrasi adalah kota-kota besar yang telah mengalami kemajuan di beberapa bidang terutama teknologi. Dan wilayah tersebut adalah tempat berkumpulnya masyarakat dari beberapa suku atau sub-ras. Proses difusi, akulturasi, bahkan kemungkinan perkawinan campuran (admixture) yang terjadi pada masyarakat pendatang di wilayah tujuan menyebabkan terjadinya variasi baru biologis manusia. (Pratama, 2010)
Perbandingan yang terjadi pada ras Batak Toba yang tinggal di Toba Samosir memiliki beberapa perbedaan pada ciri morfologis atau fisiologis. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah perkawinan. Masyarakat Batak Toba yang masih tinggal di Toba Samosir melakukan pernikahan dengan dengan model perkawinan endogami lokal. Hal ini mengakibatkan lahirnya generasi baru dengan beberapa sifat bawaan yang berasal dari orang tua. Namun hal terbalik terjadi pada masyarakat Batak Toba yang tinggal di Surabaya. Mereka melakukan pernikahan dengan populasi lain yang berasal dari ras yang berbeda dengan mereka. (Pratama, 2010)
Faktor selanjutnya adalah sifat yang diturunkan kepada keturunan dengan diberikan genetik yang memiliki keunikan. Pewarisan biologis ini akan tetap bertahan meskipun hidup berpindah-pindah ke daerah lain. Jadi meskipun masyarakat Batak Toba melakukan migrasi ke Surabaya, ketika ia menikah maka ia akan mendapatkan generasi penerus dengan beberapa sifat bawaan yang tetap melekat padanya. Faktor yang membuat perubahan ciri pada masyarakat Batak Toba dengan melakukan strategi adaptasi adalah kondisi iklim. Bentuk iklim di wilayah Toba Samosir adalah sejuk karena terletak di daerah perbukitan. Wilayah ini memiliki perbandingan terbalik dengan Surabaya yang memiliki suhu tinggi. (Pratama, 2010)
Dari faktor-faktor di atas menghasilkan sebuah perbedaan yang signifikan pada bentuk kepala serta organ lainnya. Bentuk kepala pada masyarakat batak toba di Toba Samosir memiliki ukuran indeks kepala yang terbilang kecil. Namun pada masyarakat Batak Toba di Surabaya memiliki ukuran yang lebih besar. Bentuk punggung hidung masyarakat Batak Toba yang tinggal di Surabaya pun memiliki bentuk yang bervariasi mulai dari kecil, besar, sampai mancung. Bentuk ini dikarenakan salah satunya adalah pekawinan campuran yang dilakukan masyarakat Batak Toba di Surabaya. Tetapi pada masyarakat Batak Toba yang tinggal di Toba Samosir memiliki ukuran indeks yang tergolong kecil. Dengan bentuk punggung hidung yang panjang, lubang hidung yang kecil serta pipi yang berisi. Hal ini dikarenakan iklim yang dingin pada wilayah tersebut. Sehingga bentuk yang tegolong kecil ini adalah untuk menghindarkan kehilangan panas dan juga mendapatkan panas untuk suhu tubuhnya. Dengan bentuk lubang hidung yang kecil, maka udara yang masuk ke paru-paru dapat di panaskan terlebih dahulu. (Pratama, 2010)
Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ukuran-ukuran antropometri baik osteoskopi dan osteometri yang digunakan pada kerangka dan tulang-belulang, juga somatoskopi dan somatometri yang digunakan pada tubuh manusia yang masih dilapisi soft tissue, penting untuk dipejari dan dipahami. Meskipun ciri-ciri morfologis masing-masing ras sudah diketahui namun kadang masih terjadi kesalahan dalam pengidentifikasian. Sebabnya adalah ukuran-ukuran pada tubuh manusia baik yang masih memiliki soft tissue  ataupun berupa tulang, belum memiliki standarisasi yang pasti dan berlaku umum. Hal ini disebabkan variasi biologis manusia yang semakin meningkat. Migrasi, adaptasi, maupun perkawinan campuran (admixture) sangat berperan dalam terbentuknya ras-ras baru yang memberi ciri baru pada populasi manusia di dunia. Akibat lainnya adalah pada pengidentifikasian yang memiliki kemungkinan mengalami kesalahan. Sebab perbandingan antar populasi tidak bisa ditentukan dengan jelas. Inilah peran dari antropometri bahwa pengukuran-pengukuran yang dipelajari dalam antropometri diharapkan dapat menyusun standarisasi ukuran tubuh manusia di seluruh dunia. Sehingga antara populasi yang satu dengan yang lainnya dapat dibandingkan ciri-cirinya. Dan hasil perbandingan ini selanjutnya dapat digunakan sebagai penentu seseorang merupakan bagian dari suatu populasi tertentu.

Daftar Pustaka

Glinka, Jozef, Myrtati D.A., Toetik K. (2008) Metode Pengukuran Manusia. Surabaya: Airlangga University Press
Indriati, Etty (2004) Antropologi Forensik : Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi, Biologis dalam Konteks Hukum. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press
Jacob, Teuku (1967) Some Problems Pertaining to The Racial History of The Indonesian Region :  A Study of Human Skeletal and Dental Remains from Several Prehistoric Sites in Indonesia and Malaysia. Utrecht : Drukkerij Neerlandia
Pratama, Agus Juanda (2010) Variasi Morfologi Wajah Populasi Batak Toba : Studi Perbandingan wajah populasi Batak Toba di Toba Samosir dengan Wajah Populasi Batak Toba di Surabaya. Skripsi, FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
Prihatini, Rahma (2006) Identifikasi Jenis Kelamin Berdasarkan Ciri – Ciri Deskriptif Ras pada Tengkorak Jawa dan Irian. Skripsi, FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
Soebroto, Sritomo W. (2000) Prinsip-Prinsip Perancangan Berbasiskan Dimensi Tubuh (Antropometri) Dan Perancangan Stasiun Kerja. Jurnal Ilmiah dari Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri FTI-ITS yang diakses secara online melalui www.its.ac.id pada Selasa, 8 Januari 2013 pukul 14.23 WIB

(Iis Indahwati, Berthin Sappang, Laila Hidayatul M, Carlina Putri W, dan Dewi Maratus S - 8 Januari 2013)

Suku To Wana/ Wana/ Tau Taa Wana


 Identifikasi, Lokasi, Penduduk
Suku Wana atau yang disebut To Wana merupakan salah satu suku terasing di Pulau Sulawesi. Menurut versi A.C. Kruyt (1930), suku Wana merupakan sub suku bangsa Pamona atau yang dulu dikenal sebagai kelompok Toraja Bare’e atau Toraja Timur. Suku tersebut tersebar di antara Teluk Poso dan Teluk Tomini. Mereka berdiam di sekitar daerah aliran Sungai Bongka dan anak-anak sungai yang terletak di pedalaman Kecamatan Ulu Bongka, Kecamatan Bungku Utara, dan Kecamatan Barone di Kabupaten Poso (Hidayah 1997:279). Umumnya, suku tersebut tinggal di dua wilayah Kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah. Pertama, di Kabupaten Poso yang meliputi Kecamatan Ulu Bongka, Kecamatan Bungku Utara, dan Kecamatan Am pana Borone. Kedua, di Kabupaten Luwuk Banggai yaitu di Kecamatan Batul (Melalatoa 1995:913). Namun berdasarkan informasi terbaru, suku To Wana kini telah tersebar dari bagian Timur dan Timur Laut Cagar Alam Morowali di Kabupaten Morowali sampai di bagian barat Pegunungan Batui di Kabupaten Banggai dan Pegunungan Balingara di Kabupaten Poso yang sekarang bernama Kabupaten Tojo Una-Una (Yayasan Merah Putih, 2012 dalam www.ymp.or.id).
Suku To Wana juga disebut sebagai suku Tau Taa Wana yang artinya “orang yang tinggal di kawasan hutan” (dalam melayuonline.com). Julukan tersebut di dapat karena mereka memang hidup di pedalaman hutan dan sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Hutan dan To Wana (Tau Taa Wana) memang adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, Hal ini kemudian menjadi suatu kepercayaan bagi masyarakat To Wana di mana mereka memandang “hutan sebagai orang tua”. Bahkan pada saat Depsos Kabupaten Banggai akan merelokasi mereka agar meninggalkan hutan adatnya, mereka menulis surat protes pada Menteri Sosial Republik Indonesia pada bulan Februari 1999 dan di dalam surat itu terdapat ungkapan “tana ntautua, retu sekatuvu mami, nempo masiasi re tana mami” yang berarti “tanah leluhur, hidup kami, biar hidup sederhana asal di tanah kami” (dalam www.rotanindonesia.org).
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000-2001, masyarakat To Wana berjumlah 1.767 jiwa (dalam www.interseksi.org). Namun, kemungkinan populasi suku tersebut adalah sekitar 5.000 jiwa (Hidayah 1997:279). 
Untuk mata pencahariannya, masyarakat To Wana hidup dari berladang dengan sistem tebang bakar dan berpindah bila kesuburan tanah mulai berkurang atau bila ada kerabat yang meninggal di tanah itu. Tanaman yang ditanam biasanya padi, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, labu, sayur-sayuran, kopi, pisang, dan kadang kelapa. Selain itu, mereka juga kadang berburu ke hutan pada malam hari dengan menggunakan sumpitan beracun yang disebut sopu, tombak, ataupun perangkap. Binatang yang diburu biasanya adalah binatang liar seperti babi, rusa, anoa, monyet, burung maleo, dan lain-lain. Mata pencaharian lainnya yaitu meramu hasil hutan, seperti damar, rotan, dan jenis kayu tertentu untuk membuat rumah. Kayu-kayu tersebut kemudian akan dijual kepada para tengkulak dari kota atau penduduk di sekitar pantai. Uang hasil dari penjualan kemudian di gunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka sehari-hari (Melalatoa 1995:913; Hidayah 1997:280). Masyarakat To Wana juga memiliki keterampilan untuk membuat berbagai kerajinan tangan. Para wanita biasanya membuat tikar dan nyiru, sedangkan para pria membuat keranjang, sarung, dan gagang parang atau tombok dan lain-lain (Melalatoa 1995:913-914).
 
Bahasa
Masyarakat To Wana memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Taa atau umumnya disebut bahasa Wana. Bahasa Wana memiliki banyak persamaan suku kata dengan bahasa Indonesia, misalnya aku, mata, kayu, kasar, halus, tipu, dan lain-lain (Melalatoa 1995:913). Bahasa Taa atau Wana merupakan bahasa ingkar yang masih satu rumpun dengan bahasa Pamona (Hidayah 1997:279). Menurut Alvart (1999), bahasa Taa adalah sebuah bahasa yang biasa digunakan di kawasan pesisir dan dataran rendah di sekitar Cagar Alam Morowali (dalam sultengexploride.blogspot.com). Sejak perpindahan dari satu tempat ke tempat lain yang dilakukan oleh leluhurnya, bahasa Taa atau Wana telah mengalami perkembangan. Bahasa tersebut memilki empat dialek berbeda berdasarkan sukunya, yaitu suku Barangas, suku Kasiala, suku Posangke, dan suku Untunue (Yayasan Sahabat Morowali, 1998 dalam www.melayuonline.com). Dari empat dialek tersebutlah, Atkinson (1992) kemudian menyimpulkan bahwa bahasa Taa atau Wana masih berada dalam rumpun bahasa Pamona.

Pola tempat tinggal
Masyarakat To Wana bermukim secara terpencar di hutan-hutan pedalaman di wilayah tempat penyebaran mereka dan juga di lembah-lembah pegunungan (Melalatoa 1995:913; dan dalam sultengexploride.blogspot.com). Dahulu kebanyakan pola mukim mereka adalah  berpencar dan berpindah-pindah mengikuti sistem ladang berpindah. Namun seiring berjalannya waktu dan dikarenakan pemerintah selalu berusaha merelokasi perkampungan mereka, maka masyarakat To Wana melakukan pertemuan adat yang memutuskan bahwa akan dilakukan penataan lipu (perkampungan) yang menetap (dalam www.rotanindonesia.org). Selain itu, A.C. Kruyt dalam artikelnya yang berjudul De To Wana op Oost-Celebes (1930) mengelompokkan suku To Wana atau Tau Taa Wana menjadi 4 suku dengan dialek yang berbeda sebagai berikut.
a.    Suku Barangas yang berasal dari Luwuk dan bermukim di kawasan Lijo, Parangisi, Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro.
b.    Suku Kasiala yang berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan kemudian bermukim di Manyoe, Sea, sebagian di Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro.
c.    Suku Posangke yang berasal dari Poso dan bermukim di kawasan Kajupoli, Toronggo, Opo, Uemasi, Lemo, dan Salubiro.
d.    Suku Untunue yang bermukim di Ue Kajumarangka, Salubiro, dan Rompi. Sayangnya, suku ini masih menutup diri dari pengaruh luar. (Yayasan Sahabat Morowali, 1998 dalam melayuonline.com).
Dalam membangun pemukimannya, masyarakat To Wana memilih untuk tidak membaur dengan penduduk lain yang lebih mayoritas. Mereka membangun perkampungan sendiri di dalam hutan yang disebut dengan lipu. Dalam tradisi suku To Wana, nama kelompok masyarakat yang menempati lipu disesuaikan dengan nama kawasan di mana lipu tersebut berada. Misalnya To Uewaju, To Kajupoli, To Kajumarangke, dan lain-lain (Departemen Transmigrasi dan PPH RI KaWil Propinsi Sulawesi Tengah, 1999/2000 dalam melayuonline.com).
Suku To Wana tinggal dalam rumah yang berdiri di atas tiang yang terbuat dari kayu dengan ketinggian kira-kira satu meter di atas tanah. Lantainya dari papan, kayu bulat, kulit kayu, atau belahan bambu. Dindingnya dari kulit kayu atau anyaman bambu. Atapnya dari anyaman daun rumbia atau alang-alang. Rumah mereka terdiri atas dua ruangan yaitu ruang tidur dan dapur. Rumah mereka tidak memiliki jendela namun terdapat celah-celah di dinding yang merupakan tempat masuknya cahaya dan sekaligus sebagai ventilasi. Orang Wana biasanya menggunakan rotan sebagai pengikat untuk menyatukan bagian-bagian rumah. Namun dari hasil pengamatan seseorang pada tahun 1980, sudah ada yang menggunakan paku untuk menyatukan bagian-bagian rumah. Biasanya dalam satu kesatuan tempat tinggal terdapat 3-4 buah rumah (Melalatoa 1995:913).

Organisasi sosial
1.    Sistem kekerabatan
Masyarakat To Wana hidup dalam kelompok-kelompok kecil di dekat ladang mereka. Terdapat sekitar 5-15 keluarga inti yang hidup di dekat lahan. Biasanya masih terdapat hubungan kekerabatan yang dekat di antara keluarga-keluarga tersebut. Satu keluarga terdiri atas satu keluarga inti senior dengan beberapa kerabat dekat sebagai kesatuan tenaga kerja. Sebab sebuah ladang dikerjakan oleh kira-kira 5-10 tenaga kerja dewasa dan anak-anak yang sudah mampu untuk membantu pekerjaan di ladang (Hidayah 1997:280). Sedangkan untuk masyarakat To Wana yang bermukim di sepanjang aliran Sungai Bulang, menyebar dalam bentuk persekutuan-persekutuan opot, yaitu antara 3-7 Kepala Keluarga (KK) hingga persekutuan lipu yang mencapai lebih dari 15 Kepala Keluarga (KK).
Untuk lifecycle atau upacara-upacara yang berhubungan dengan perputaran kehidupan, masyarakat To Wana mengenal cukup banyak upacara dan ritual. Upacara adatnya antara lain upacara pembukaan lahan untuk berladang (masua atau para soa), upacara syukur panen (para pakuli) dan upacara kematian. Untuk ritual biasanya berupa ritual penyembuhan penyakit (Melalatoa 1995:914)
Adat perkawinan pada masyarakat To Wana mengenal adat peminangan. Peminangan dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita. Dalam peminangan, pihak laki-laki membawa tempat sirih yang telah diisi dengan sirih, pinang, dan tembakau. Dalam meminang, ada ungkapan-ungkapan yang digunakan misalnya “apakah hutan ini sudah ada yang membuka?” artinya bahwa “apakah gadis yang ingin dipinang itu telah memiliki seseorang yang dicintai?”. Pinangan akan dijawab sekitar tiga hari setelahnya. Pinangan yang diterima ditandai dengan tidak dikembalikannya tempat sirih. Apabila sudah diterima, maka akan dilanjutkan dengan pembicaraan lebih lanjut tentang pelaksanaan perkawinan. Perkawinan pada masyarakat To Wana juga mengenal mas kawin. Mas kawin yang digunakan biasanya berupa empat lembar sarung pelekat atau empat buah dulang. Dapat pula berupa dua lembar sarung pelekat dan dua buah dulang (Melalatoa 1995:914).
Masyarakat To Wana dalam menyembuhkan penyakit masih menggunakan dukun yang disebut tawalia. Ritual penyembuhan penyakit disebut memago atau mawalia yang dilakukan setelah matahari terbenam hingga tengah malam. Penyembuhan dilakukan dengan cara orang yang sakit dibaringkan di dekat tawalia, lalu tawalia akan menabuh gendang sambil membaca mantera. Orang yang sakit tersebut dikelilingi oleh orang-orang yang berdoa untuk kesembuhannya. Kalau belum sembuh juga, maka ritual tersebut dilakukan berulang-ulang hingga orang tersebut sembuh (Melalatoa 1995:914).
Jika ada salah satu kelompok yang meninggal, maka seluruh kerabat dan anggota kelompok akan berkabung. Biaya upacara kematian akan ditanggung oleh kerabat namun anggota dalam satu kelompok biasanya ikut membantu. Upacara kematian pada masyarakat To Wana memiliki beberapa tahapan. Tahapan pertama ialah mata, yaitu memandikan jenazah, memakaikannya pakaian terbaik, lalu dibungkus dengan sembarang kain yang tidak dijahit. Kemudian jenazah dimasukkan ke dalam peti yang terbuat dari kulit kayu. Kedua adalah tunda oda yang dilakukan pada hari ketiga. Berikutnya, hapasambali yaitu peringatan pada hari kedelapan untuk laki-laki dan hari kesembilan untuk perempuan. Dan yang terakhir adalah mempiunu yaitu upacara peringatan hari ke-15 untuk laki-laki dan ke-16 untuk perempuan. Setelah upacara kematian selesai, maka kelompok tersebut akan pindah ke tempat lain dan rumah mereka akan dihancurkan atau dibakar (Melalatoa 1995:914)

2.    Sistem kemasyarakatan
Dalam kehidupan sosialnya, masyarakat To Wana memiliki seorang pemimpin adat yang disebut Tautua Lipu. Tautua Lipu merupakan seorang lelaki senior dalam suatu lipu atau pemukiman. Dia bertindak sebagai kepala pemukiman, pemimpin tani, dan juga dukun (tawalia) (Hidayah 1997:280).

Agama/religi
Masyarakat To Wana mempercayai adanya kekuasaan tertinggi dalam kehidupan mereka yang mereka sebut Pu’E. Selain itu, ada juga kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus yang menguasai air, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Makhluk halus tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu yang mengganggu (meajosa) sehingga harus diberi sesajen dan yang membantu (walia). Sebagian besar kepercayaan mereka berdasarkan atas isyarat-isyarat alam (Melalatoa 1995:915). Mereka juga mempercayai adanya tempat keramat di mana berdiamnya roh-roh, misalnya Gunung Tongku Tua (Tambosisi) yang tingginya 2.500 m (Hidayah 1997:280).
Masyarakat To Wana juga sangat menjaga hubungan dengan leluhur mereka. Upaya tersebut dilakukan dengan menjaga setiap jengkal tanah warisan leluhur mereka. Dalam kepercayaan mereka, tanah (tana poga’a) diciptakan oleh Pu’E (Tuhan). Tanah tersebut diberikan Pu’E kepada nenek moyang mereka, yang selanjutnya diwarisi oleh masyarakat To Wana. Dan mereka berkewajiban menjaga tanah tersebut agar tidak rusak dan beralih fungsi. Jika terjadi, maka Pu’E akan mendatangkan bencana seperti tanah longsor atau kebakaran hutan. Mereka lalu menyebut tanah leluhur mereka “tana ntautua”. Keberadaan tana ntautua ini kemudian memberikan akibat-akibat simbolik bagi masyarakat To Wana yaitu (1) menebang pohon berakibat pada petaka; (2) Pangale: “Orang Tua” yang harus dilindungi; (3) Pangale: tempat keramat (dalam melayuonline.com).
Sebenarnya, masyarakat To Wana juga telah menerima pengaruh Islam karena interaksi mereka dengan pedagang dari pesisir. Karena itu, ada dari mereka yang beragama Islam. Selain itu ada juga yang memeluk agama Kristen Protestan yang dibawa oleh penginjil dari Lemo. Namun, mereka sering berbalik pada kepercayaan nenek moyang karena dianggap lebih tua dari agama Kristen dan lebih muda dari agama Islam karena mereka mengenal Islam lebih dulu dari Kristen. Pada perkembangannya, masyarakat To Wana sudah ada yang memeluk agama Islam, Kristen, dan Katolik. Dan untuk yang masih tetap pada kepercayaan nenek moyang disebut golongan Halarjik (Melalatoa 1995:915; Hidayah 1997:280).

Kebudayaan yang menonjol/khas
Masyarakat To Wana mengenal beberapa macam kesenian seperti seni tari, seni musik atau suara, dan seni sastra. Fungsinya adalah sebagai hiburan dan juga sebagai bagian dari sistem kepercayaan. Seni tari misalnya adalah tari Tendebamba, yaitu tarian yang menceritakan tentang muda-mudi yang sedang menjalin kasih. Kemudian tari Mue’ende yaitu tarian yang mengekspresikan kebahagiaan karena menang dalam perang. Lalu tari Lamlia, yaitu tarian rasa syukur setelah masa panen. Dan terakhir Mataro yaitu tarian untuk menyembuhkan penyakit (Melalatoa 1995:915).
Tari-tarian tersebut biasanya diiringi oleh seni suara dan lirik-lirik pantun. Selain itu, ada beberapa instrumen seperti gong, gendang, dan kecapi (talali) yang digunakan untuk mengiringi tarian dan seni suara. Ada juga nyanyian yang tidak diiringi alat musik yaitu nyanyian kayori. Nyanyian ini dapat dinyanyikan oleh siapapun tanpa terkecuali dan biasanya dinyanyikan untuk menyambut tamu penting. Lalu, nyanyian Pamaulu yang dinyanyikan saat menghadapi kesedihan dan penderitaan (Melalatoa 1995:915).

Nilai-nilai budaya
Aspek Pengetahuan
Nilai: kebenaran
Masyarakat To Wana sangat menjaga alam dan tanah leluhur mereka.
Aspek Sosial
Nilai: harmoni, tenggang rasa, tanggung jawab, tolong-menolong, kebersamaan
Masyarakat To Wana dalam setiap kehidupannya saling bekerja sama dan tolong-menolong dalam kelompoknya (Lipu). Jika ada yang meninggal, biaya upacara kematian tidak hanya ditanggung oleh keluarga tetapi anggota dalam satu kelompok pun ikut membantu. Saat ada yang sakit, mereka sama-sama berdoa. Mereka juga menjaga tanah yang diwariskan leluhur mereka dengan baik dan tidak membiarkan orang lain merusaknya.
Aspek Seni
Nilai: indah, kreatif, melankolis, riang
Seni tari, musik, dan sastra memiliki nilai keindahan bagi yang mendengar dan melihatnya. Selain itu, ada nilai riang pada tari Tendebamba, Mue’ende, dan Lamlia. Sedangkan melankolis pada nyanyian Pamaulu. Kreatif karena masyarakat to Wana dapat memanfaatkan barang-barang alam untuk dibuat kerajinan tangan seperti nyiru, tikar, dan lain-lain. Kreatif pula karena dalam keseniannya, terdapat berbagai ungkapan emosi.
Aspek Religi
Nilai: ketuhanan, kebenaran, iman, disiplin, dan setia.
Masyarakat To Wana memiliki cukup banyak upacara-upacara dan ritual-ritual yang merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap Pu’E dan leluhur mereka. Hingga kini, mereka tetap menjaga warisan leluhur mereka. Sebagian dari mereka juga telah memeluk agama Islam, Kristen, dan Katolik.
Aspek Ekonomi
Nilai: ikhtiar dan makmur
Masyarakat To Wana selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka berladang, berburu, dan meramu hasil hutan untuk kemudian dijual dan hasilnya digunakan untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka. Namun, mereka tidak pernah merusak alam. Mereka senantiasa menjaga alam tempat mereka hidup.

Pembangunan dan modernisasi
Suku To Wana adalah suku yang yang hidup di pedalaman hutan dan di lembah pegunungan. Mereka sengaja memisahkan diri dari orang-orang luar untuk menjaga kepercayaan mereka. Selain itu, mereka juga memiliki trauma masa lalu terhadap pemerintahan. Baik saat zaman kerajaan-kerajaan, zaman Belanda maupun zaman merdeka. Hingga saat ini, masyarakat To Wana masih merasa terjajah. Hal ini didasarkan atas tiga penilaian, yaitu (1) keharusan membayar pajak; (2) cara-cara resettlement paksa dengan menggunakan polisi, tentara, atau aparat keamanan lainnya yang membuat mereka makin merasa terjajah; (3) cara-cara pendudukan wilayah kelola mereka oleh Perusahaan Perkebunan Besar (Sawit), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan Transmigrasi, merupakan faktor yang paling memperkuat rasa trauma mereka sebagai komunitas terjajah (dalam sultengexploride.com).
Pembangunan dan modernisasi kini telah merambah ke dalam masyarakat To Wana. Khususnya mereka yang tinggal di pesisir, mulai berpikir bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan. Di Kajupoli misalnya, tidak sulit untuk menemukan tape recorder yang berukuran besar, pakaian-pakaian modern seperti jeans, dan juga jam tangan berbagai merk. Namun barang-barang tidaklah bermanfaat bagi mereka. Mereka tidak tahu bagaimana menggunakannya. Hanya sebagai pajangan di rumah ataupun di tubuh mereka. Kecenderungan konsumerisme seperti ini kemudian membuat orang-orang To Wana di pesisir terlilit utang (dalam www.interseksi.org).
Namun sisi baiknya, pendidikan di masyarakat To Wana kini mulai dikembangkan. PESAT yaitu sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial untuk membangun pedesaan, telah mengembangkan program pendidikan bagi anak-anak masyarakat To Wana. Hingga tahun 2007, PESAT telah melayani anak usia TK, SD, dan SMP. Jumlah anak-anak To Wana yang mengikuti program pendidikan ini pun semakin waktu semakin meningkat dan pengetahuan yang mereka dapat tentunya akan memberikan perubahan pada pola hidup mereka (dalam www.pesat.org).

Daftar Pustaka:

1.    Sumber tertulis

Hidayah, Zulyani.
1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, M. Junus.
1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

2.    Sumber internet

Afif, Afthonul.
2008. Leluhur Suku Wana di Kendari (Sulawesi Tengah). Diakses melalui www.melayuonline.com pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.49

Cammang, Nasution.
____. Bergerak Atas Nama Hutan Adat (Pelajaran dari Tau Taa Wana). Diakses melalui www.rotanindonesia.org pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.44

Lahaji, Jabar.
2010. Masyarakat Adat Wana dan Kearifan Lingkungan. Diakses melalui www.interseksi.org pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.35

SULTENG EXPLORIDE.
2012. Asal Usul Tau Taa Wana. Diakses melalui www.sultengexploride.blogspot.com pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.31

Toni.
2008. Sekolah di Suku Wana. Diakses melalui www.pesat.org pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.42

Yayasan Merah Putih.
2012. Tau Taa Wana. Diakses melalui www.ymp.or.id pada tanggal 7 November 2012 pukul 17.18

(Berthin Sappang - 26 November 2012)